Jika Indonesia punya Rupiah sebagai satuan mata uang, maka Komkep Keuskupan Agung Palembang juga punya mata uang khusus, bernama BAE. Mata uang ini sudah sering digunakan dalam berbagai kegiatan yang diadakan Komkep. Bae, apakah ada maksudnya. Bae adalah bahasa Palembang yang setara dengan “wae” dalam bahasa jawa, dan “saja” dalam bahasa Indonesia. Atnasus sebagai pengide memilih kata “Bae” sebagai ungkapan santai saja. Misalnya, “berapa hadiah yang dimenangkan dalam permainan ini?” “Oooo Seribu Bae.” “Jika melanggar batas, maka kelompok kalian dikenai denda Lima Ratus Bae” kedengarannya enak gitu lho.
Uang Bae adalah mata uang kesekian yang diciptakan oleh Komkep. Pernah waktu kegiatan di Curup, Komkep membuat uang Cubeng, singkatan dari Curup Bengkulu, sebagai penanda lokasi kegiatan. Pernah juga ketika beracara di Desa Sindang, Komkep mengeluarkan uang “Sin” yang merupakan singkatan “Sindang”. Satu lagi mata uang yang juga pernah beredar namun kini sudah ditarik dari peredaran adalah “Arum” yang digunakan ketika berkegiatan di Tegal Arum.
Mata uang yang pernah beredar rata-rata terbuat dari kertas dengan fotokopi nilai uang tersebut. Misalnya 5 bae, 10 Bae, 50 bae, 100 bae, dan 500 bae. Pernah juga uang dibuat dari kertas manila berwarna yang diprint sehingga tertampil berwarna, keren. Mata uang bae, yang sampai kini masih berlaku terbuat dari kertas fotokopian yang dilaminating, sehingga awet. Berkali-kali bae digunakan dalam cuaca terik, hujan, dalam kondisi basah kecemplung kolam, berlumpur, maupun kena tanah, mudah sekali dibersihkan. Bahkan pernah saking kotornya uang bae setelah digunakan untuk outbound, maka diadakan acara pencucian uang. Seluruh uang dimasukkan ember bersabun, diaduk-aduk sampai bersih, beres deh, tinggal mengeringkan. Namun sayang lama-kelamaan jumlah uang bae mulai berkurang, mungkin hilang terjatuh, terbawa peserta outbound sebagai kenang-kenangan, atau ada yang menyimpan terlalu rahasia sampai malah tak bisa ditemukan. Sudah saatnya menerbitkan Bae edisi 2010.
Sebenarnya untuk apa sih uang bae itu, kok repot-repot amat merekayasanya. Oooo banyak sekali gunanya, terutama untuk memperlancar proses latpim atau outbound. Paling sering bae digunakan untuk perwujudan kompensasi atas prestasi seseorang/kelompok dalam menyelesaikan permainan. Misalnya tiap memasukkan 1 bola dalam ember, maka pemasuk mendapat 50 bae sebuah ganjarannya. Tinggal dihitung saja nanti prestasinya, lalu berikan lembar-lembar baenya, praktis. Kerap juga bae digunakan dalam satu rangkaian proses latpim sebagai penanda sejauh mana peserta berdinamika. Misalnya jika peserta datang tepat waktu ke ruang materi, maka tiap orang akan mendapat 10 bae, langsung, sebaliknya yang terlambat didenda 20 bae. Atau jika ada peserta yang mempunyai kinerja tertentu bisa diberi hadiah sekian bae. Apakah jumlah bae menandakan keunggulan seseorang, tergantung konsep acaranya. Karena pernah juga ditawarkan dalam tengah-tengah proses, “terjadi bencana alam, banjir di suatu daerah, kerusakan parah, membutuhkan pertolongan, siapa yang mau menyumbangkan baenya, terserah berapa saja”. Ada yang menyumbang banyak, ada yang sedikit, ada yang tidak menyumbang, semua yang ditawari punya pertimbangan masing-masing dalam konteks proses tersebut, ndak masalah.
Prinsip utama bae adalah mendekatkan peserta dalam sebuah proses latihan/outbound pada realita kehidupan yang memang membutuhkan rupiah/uang. Banyak hal yang kita putuskan/pilih terkait dengan konsekuensi pendapatan atau pengeluaran. Kerja keras yang menghasilkan prestasi tertentu layak diganjar dengan uang/bae, namun sebaliknya, kegagalan dapat menyebabkan bae/uang kKita melayang. Dalam pengalaman, bae sangat membantu proses, terlebih dalam kegiatan yang berdurasi 2 hari atau lebih. Akumulasi, penambahan dan pengurangan bae senantiasa membuat alur tersambung dan berkesinambungan. Emosi peserta bahkan dapat teraduk-aduk jika sudah berurusan dengan bae, suatu hal yang di satu sisi baik untuk menginternalisasi suatu materi/nilai-nilai. Paling sering, bae digunakan untuk membeli makan dan menyewa peralatannya. Ketika itu diterapkan secara ketat, maka yang berbae banyak layak makan dengan nyaman, sebaliknya mereka yang miskin, siap-siap deh makan dengan menu dan alat yang minim, bahkan kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar