Sabtu, 13 Agustus 2011

Gerobak



Kondisi dan perlengkapan yang ada di sekitar kita, dapat juga digunakan sebagai sarana untuk menginternalisasi nilai-nilai iman. Gerobak pun bisa dimanfaatkan sebagai peralatan permainan yang canggih dan tepat sasaran.

Saat itu tahun 2004, Atnasus dan teman-teman sedang survey untuk menyusun outbound mudika, di suatu desa. Ketika melewati kebun karet, terlihatlah sebuah gerobak yang terparkir dengan manis di suatu halaman rumah. Atnasus memproses penglihatan itu dalam otaknya, dibaurkan dengan tujuan outbound. Ting…. Muncullah ide untuk memanfaatkan gerobak itu. Ketika dikonfirmasi pada sang pemilik yang membolehkan gerobaknya ikut outbound, senanglah Atnasus. Untuk apa gerobak itu?

Permainan itu bernama “Gerobak Sapi” yang bertujuan 3 hal. Pertama memberi simulasi betapa Tuhan sebenarnya dapat mengendalikan hidup kita yang kadang tertimpa kesusahan sehingga dunia seakan gelap tanpa titik terang. Kedua, melatih kepercayaan antar anggota kelompok. Ketiga, melatih komunikasi yang efektif antar anggota kelompok sehingga dapat mencapai tujuan bersama. Tiga tujuan tersebut akan direfleksikan oleh fasilitator yang bijaksana. Bagaimana gerobak dapat memfasilitasi 3 tujuan tersebut?

Seorang peserta dipercaya menjadi Sapi (dipercaya, kok menjadi sapi) lainnya 3-4 orang naik ke gerobak. Sapi, gerobak, dan penumpangnya bertujuan mencapai suatu tempat yang berjarak kira-kira 40 meter dari titik mulai. Sebenarnya sesuatu yang sangat mudah dicapai, selama si sapi punya tenaga cukup. Namun tantangan menjadi menarik ketika sapi harus ditutup matanya. Jadi sapi akan menarik gerobak dan penumpangnya dengan mata tertutup, berjalan hanya mengandalkan petunjuk si sais/pengemudi gerobak. Ini baru permainan namanya. Dimana rutenya? Di jalan setapak di sela-sela pohon karet. Resiko cukup tinggi karena rombongan bisa salah jalur, menabrak pohon karet, terguling atau tidak kemana-mana karena ragu.
 
Apa relevasnsi dengan 3 tujuan tadi? Jelas. Sapi, menggambarkan manusia yang dalam kegelapan, namun si sais yang digambarkan sebagai (Firman) Tuhan sebenarnya senantiasa memberi petunjuk yang tepat. Selama sapi, eh, manusia mengikuti petunjuk dengan tepat, maka akan sampailah dia di kehidupan yang penuh dengan sukacita. Dua, kepercayaan adalah hal yang mutlak diyakini oleh tiap pemegang peran. Sapi mesti percaya pada sais yang pasti tak ingin tersungkur. Sais dan penumpang juga mesti percaya bahwa sapi  yang buta itu dapat membawa mereka semua mencapai tujuan. Tanpa kepercayaan, yang terjadi adalah ketidakberesan yang mengakibatkan misi gagal. Ketiga, walau sudah saling percaya, namun tanpa komunikasi yang baik, proses bisa berlarut-larut, bahkan gagal. Cara mengomunikasikan kemana sapi harus melangkah perlu dilakukan oleh sais secara seksama, demikian juga sebaliknya, sapi harus semaksimal mungkin mencoba memahami apa yang dikatakan oleh sais. Salah komunikasi bisa berakibat fatal.
 
Ternyata, banyak hal yang sekitar kita yang dapat digunakan sebagai sarana penunjang kegiatan. Hal-hal sederhana dibalut dengan sebuah ide yang kuat, dapat menjelma menjadi sarana yang efektif mengantarkan peserta permainan dalam internalisasi nilai, baik secara iman maupun sosial. Tak lupa, secerdas apa pun ide Kita, akan lebih maksimal jika fasilitator memfasilitasi peserta untuk mencapai pemahaman terhadapnya. Jika hanya asal main tanpa refleksi, sayang, deh… bisa-bisa peserta hanya menangkap kesan bahwa dia hanya dikerjain fasilitator.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar