Kamis, 11 Agustus 2011

Samat


Ini adalah kisah Atnasus kala masih mahasiswa, bukan sebagai pendamping kegiatan, namun sebagai peserta. Persisnya Atnasus ikut kegiatan rekoleksi, namun ternyata berformat malah mirip latihan kepemimpinan. Kegiatan berlangsung selama 6 hari dengan peserta beragam dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah, jadi boleh dibilang hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjadi peserta. Pembicara atau pemateri kegiatan ini pun dipilih orang-orang yang berkualitas.

Salah satu tugas diantara segunung tugas yang harus diselesaikan tiap peserta adalah membuat laporan kegiatan. Ada laporan renungan pagi dan renungan malam, ada laporan sesion, juga ada laporan pertanggungjawaban jika mendapat tugas khusus hari tersebut. Ketika tertunjuk menjadi notulis dalam sebuah sesi, kita juga harus membuat laporan, disamping notulensinya itu sendiri. Celakanya, format tiap laporan berbeda-beda. Cara menulis laporan renungan beda dengan laporan tugas, beda dengan laporan sesi, juga beda untuk laporan notulis. Lebih celaka lagi, kertas yang digunakan untuk menulis laporan tersebut terbatas, pas sejumlah peserta sehingga jika ada satu saja peserta mengambil 2 kertas untuk 1 laporan, pasti ada peserta yang tidak kebagian kertas. 

Panitia pada hari pertama kegiatan sudah memampangkan contoh setiap laporan, celakanya hanya sehari saja. Hari kedua sudah tak ada lagi petunjuk, sehingga hanya mengandalkan catatan (mereka yang sempat mencatat) atau ingatan. Lebih celaka lagi, waktu untuk menyelesaikan tiap laporan sangat terbatas, maksimal setengah hari sejak kegiatan yang akan dilaporkan usai. Lewat batas waktu tersebut hangus, dianggap tak mengumpulkan. Yang paling celaka lagi, kesalahan terhadap laporan mendapat sanksi, alternatifnya cuma dua, push up atau squat jump sekian kali sesuai tingkat kesalahan.

Celakanya, pada hari pertama semua peserta mengalami kesalahan dalam membuat laporan, sehingga terjadilah push up massal malam itu. Hari kedua, sebagian besar masih salah, walau banyak yang ngotot sudah merasa benar dalam melaporkan. Panitia tak mau tahu, salah yha salah, push up. Hari ketiga masih cukup banyak yang juga keliru sehingga tetap kena hukum, termasuk Atnasus. Negosiasi peserta dan panitia menyepakati bahwa contoh format akan dipasang lagi, walau dalam waktu yang sangat singkat malam itu.
Setelah contoh dipampangkan kembali, peserta pada ngeh, bahwa yang menjadi muasal mereka push up karena salah adalah urusan format penulisan. Posisi, huruf besar/kecil, titik dua, titik, koma, garis bawah dan apostrof menjadi pangkal urusan. Format yang diminta adalah persis sis dengan contoh, hanya isinya saja yang berubah. Pantaslah, Atnasus dan teman-teman tak menyangka bahwa yang dimaksud dengan “laporan yang benar” sampai menyentuh segala patokan tersebut. Usai hari ketiga, mulai banyak peserta yang benar dalam menuliskan laporan, walau masih ada beberapa yang (celakalah dia) keliru, yha akibatnya hukuman tambah berat.

Ada pelajaran berharga yang dipetik dari pola penulisan laporan dalam suatu kegiatan latpim. Ketelitian dan kecermatan adalah hal yang mendasarinya. Kita dituntut selalu cermat dalam mengerjakan segala sesuatu, termasuk menulis sebuah laporan yang walau singkat dan (kelihatannya) mudah. Pengabaian terhadap ketentuan (apalagi yang sudah disampaikan) bisa mengakibatkan petaka. Dalam keseharian, kita juga dituntut teliti dan cermat dalam menyelesaikan semua hal. Kesalahan kecil dapat berdampak fatal pada beberapa kondisi.

Atnasus terkesan dengan kisah Michaelangelo yang bekerja sangat keras menyelesaikan tiap detail lukisan pada langit-langit basilika Santo Petrus di Vatikan. Padahal lukisan globalnya sudah jadi dan sangat bagus. Seseorang pernah menanyakan, mengapa dia tetap setia bekerja sangat keras menyelesaikan tiap detail lukisan, padahal orang tidak akan bisa melihat detail lukisan tersebut dari lantai karena jarak lantai dan langit-langit yang sangat tinggi. Apa jawaban Michaelangelo? “orang lain memang tidak melihatnya, namun karena sayalah yang melihatnya, maka saya harus menyelesaikan lukisan tersebut sesempurna mungkin. Artinya, Michaelangelo setia bertanggung jawab terhadap diri dan kompetensinya, walau mungkin orang lain tidak mengetahuinya. Jangan sampai Saya tahu sesuatu belum sempurna, namun orang lain tidak tahu, membuat saya tidak menyempurnakannya.

Lalu mengapa kelompok yang tadi Atnasus ceritakan disebut dengan samat? Tak jauh dari urusan format laporan. Samat adalah kependekan “Salah Format” suatu nama yang dimaksudkan untuk mengingatkan seluruh anggotanya supaya senantiasa teliti dan cermat dalam membaca dan menuliskan sesuatu. Selain itu juga nama yang menginspirasi supaya kita lebih teliti dalam berkarya, apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar