Senin, 02 Maret 2015

Tidur, Makan, dan Memandikan 1200 orang saat KYD 2012 _ 16/17



Sistem Pemukiman

Kalo konsep awalnya nya sih gini
Hallah, aku tahu jadinya, berubah khan?
He he he.... tau saja kamu. Dengerin dulu lah konsep awalnya
  • Seluruh peserta KYD, sebanyak maksimal 1.500 OMK, selanjutnya akan disebut warga, tergabung dalam satu kelompok besar yang disebut Keuskupan.
  • Keuskupan akan terbagi dalam 4 dekanat yang masing-masing terdiri dari 2 distrik. Total distrik adalah 8 distrik, sesuai 8 distrik yang ada di Kapal.
  • Pembagian Dekanat untuk memudahkan kegiatan misa harian dan makan/snack, karena untuk aktivitas tersebut warga akan dipecah dalam 4 area.
  • Warga dalam 1 distrik akan terbagi dalam beberapa lingkungan. Lingkungan adalah kelompok terkecil dari persekutuan OMK dalam KYD.
  • 1 lingkungan akan terdiri dari 40-an OMK yang berasal dari satu distrik.
  • Contoh: dalam KYD, Distrik Tahata (berwargakan peserta dari paroki Tanjung Enim, Lahat, dan Tanjung Sakti) akan dibagi dalam 5 lingkungan; lingkungan selalu beranggotakan OMK dari 3 paroki tersebut. Warga 1 lingkungan akan bermukim dalam 2 ruang kelas sebagai ruang istirahat dan ruang tidur. 1 kelas untuk warga putri, 1 kelas lainnya untuk yang putra.
Trus pelaksanaannya beda, gitu? Ah kebiasaan kalian itu kok nggak ilang-ilang sih?
Lho, kok kamu yang senewen sih Lai. Kalo penyesuaian dilakukan supaya kegiatan lebih asyik, apa kamu juga mau protes?
Eh, nggak juga sih, terus terus gimana yang terjadi?
Konsep tadi khan mengasumsikan ada 3 gedung sekolah yang akan kami gunakan untuk tempat tidur, namun saat pelaksanaan hanya 2 gedung yang bisa kami pake untuk tidur. Trus setelah kami juga mendapatkan perbandingan cowok dan cewek calon peserta barulah kami melakukan penyesuaian.
Gimana itu?
Semua peserta cewek dari 7 distrik ditempatkan di Gedung Joseph, dan 1 distrik di Gedung Xaverius lantai 1. Lalu semua peserta cowok di lantai 2 dan 3 gedung Xaverius. Konsep “dekanat” tereduksi hanya sebatas untuk membagi area pengambilan makanan supaya merata. Misa harian pun jadi 3 lokasi, bukan 4 seperti rencana awal. Namun hal-hal teknis itu nggak mengganggu alur proses acara inti sih.
Ooo gitu tho. Trus tentang kebersamaan di tiap kelas jadi longgar dong.
Iya, rencana bahwa tiap malam ada doa di tiap kelas sebelum tidur nggak jadi. Jadinya dikumpulkan dalam 3 kelompok besar, doa masal. 
 
Kebersamaan di bawah rimbun pohon
Tapi, kalo kudengar ceritamu sejak tadi, kayaknya memang lebih banyak kegiatan kegiatan yang berbasis paroki dan distrik khan, daripada berbasis pemukiman. Bener khan?
Benar, Lai. Seneng juga aku dapat teman malaikat secerdas kamu. Kita hitung-hitungan yha? Gladi Rohani dan Jasmani atas nama distrik, Pameran dan Pensi atas nama paroki, talk show, misa buka tutup bareng-bareng. Dalam seminar, peserta tiap paroki sudah dibagi rata kepesertaaanya. Jadi memang sebagian besar kegiatan berbasis teritorial asal, Lai, makanya penempatan ruang tidur nggak terlalu pengaruh.
Gimana kalian menyiapkan alas tidur untuk 1000-an orang?
Peserta bawa sendiri, pokoknya tiap paroki bawa alas tidur yang cukup untuk anggota kontingennya.
Untuk panitia gimana?
Hallah, soal kayak gitu kok ditanyain tho, Lai Lai, tentu saja panitia yang menyediakannya, tapi nggak banyak kok.
Oke, kayaknya jelas deh tentang sistem pemukimannya. Kini urusan makan, gimana itu?
Sudah kuduga, itu akan kautanyakan

 Makan Yuk

Iya lah, emangnya mudah ngurus makanan untuk 1100-an orang? Selama 4 hari pula. Sudah layak dan sepantasnya aku perlu tahu, Nas.
Hahaha....penasaran ni yeee...
Kami menyadari bahwa biaya untuk konsumsi akan menyedot anggaran puluhan juta, kamu hitung sendiri deh Lai. Maka kami mengambil  langkah meminta dan menerima sumbangan natura dari umat, khusunya di Dekanat 1 Palembang. Boleh beras, gula, minyak goreng, ayam, minuman, dan sejenisnya.
Aino aino, kalian melibatkan WKRI lagi kali ini?
Benar sekali, ibu-ibu WKRI-lah yang mengelola urusan makan ini. WKRI DPD Sumatera selatan membagi  kelompok memasak pada 4 DPC-nya. Semua sumbangan natura yang terkumpul pada panitia didistribusikan pada keempat kelompok tersebut. Baru nanti kekurangan bahannya yang dibeli.
Ooo begitu ya...
Ya, dengan itu bisa menghemat pengeluaran uang tunai, Lai.
Trus dimana mereka memasak? Bikin dapur umum di lokasi?
Oh, nggak, mereka memasak di empat tempat sesuai DPC yang ditugasi. Rata-rata jarak dari lokasi KYD sekitar 1–4 kilometer. Tiap hari mereka dibantu seksi transportasi mengangkut makanan ke lokasi kegiatan.
Wah repot juga ya, Nas.
Repot? Itu sih relatif, Lai. Kondisinya memang begitu yang paling praktis. Bikin dapur umum di lokasi, siapa yang mau nungguin masak? Kondisi di sini lain dengan empat tahun lalu di Stasi Tegal Arum. Namun ternyata walaupun agak repot nggak masalah juga tuh. Khan peralatan makan seperti piring, gelas, dan sendok garpu dibawa dan dicuci sendiri oleh peserta.
Oke oke, terus mekanisme pengambilan makanannya gimana?
Sederhana, kok, kami bikin ketentuan seperti ini:
  • Tiap paroki akan mendapatkan kupon makan sesuai jumlah peserta (peserta, pendamping awam, sopir, dan tenaga pendukung bawaan lainnya) saat registrasi.
  • Pendamping yang rohaniwan/biarawan akan masuk menjadi pendamping rohani dan akan mendapat kartu sebagai  panitia.
  • Peserta mengambil makanan pada tempat yang  dimaksud dalam kupon makan tersebut (4 area tempat mengambil makanan)
  • Untuk mengambil nasi, lauk, dan kawan-kawannya, tiap peserta menunjukkan dan meninggalkan kupon tersebut pada petugas di dekat meja sajian.
  • Setelah mengambil nasi dan air minum peserta memilih sendiri tempat untuk menghabiskan makannya, selama tidak di ruang tidur/kelas.
  • Apa yang sudah diambil, wajib dihabiskan, maka makanlah sesuai porsi perutnya.
  • Usai makan, tiap peserta menuju tempat mencuci piring/gelas untuk mencuci sendiri perkakas makannya. Setelah dicuci, disimpan sendiri untuk digunakan pada saat makan berikutnya.
  • Paling cepat 2 jam setelah jam makan, perwakilan tiap paroki mengambil kembali kupon makan pada panitia, sejumlah anggota kontingen. Perwakilan tersebut bertugas mendistribusikan kartu pada tiap anggota kontingen paroki
  • Demikian seterusnya sama untuk prosesi makan.

 
Antri Makan di Tenda Konsumsi

Asyiknya makan rame-rame

Hmmm agak beda dengan TAKM 2004 yach. Waktu itu kalian bikin sekaligus beberapa kupon makan yang akan diserahkan dan tidak dikembalikan tiap akan makan. Kini kalian cukup bikin seribuan kupon makan yang bisa digunakan berkali-kali.
Yups, benar sekali. Gimana cukup yach untuk urusan makan memakan?
Hmm... kalo dari evaluasi panitia sendiri, gimana itu ceritanya, Nas?
Mulai dari peserta dahulu yach. Kalo dari sisi menu tentu ada yang bilang enak, berkomentar lumayan juga banyak, tapi yang kasih evaluasi menunya kurang sip juga masih ada. Maklumlah nggak mungkin seribuan orang sama seleranya. Kalo mengenai sistemnya sih sudah bagus, walau sempat juga di hari pertama ada kesalahan mbagi kartu.
Kok bisa
Iya, ada petugas yang keliru melihat warna kartu yang kuning dengan orange, dikiranya sama.
Makanya, kalo kasih warna pembeda yang mencolok sekalian, misalnya kuning, biru, merah, sama hitam.
He he he... iya, Lai. Masih ada lagi nggak yang mau ditanyakan tentang makanan?
Tentang kerjasama dengan WKRI gimana, lancar?
Hmmm... saat pelaksanaan lancar, tapi saat persiapan itu sempat lah ada sedikit ketegangan, biasa urusan komunikasi.
Gimana itu ceritanya?
Kita khan minta WKRI Dewan Pimpinan Daerah Sumsel untuk terlibat. Nah kayaknya ada beberapa teman panitia yang belum tahu bahwa ada yang namanya DPD juga ada yang DPC alias Dewan Pimpinan Cabang.
Itu yang di paroki-paroki?
Benar, DPC itu yang di paroki. Nah, kita urusan awal khan dengan DPD, lalu mekanisme internal DPD sendiri membagi tugas pada DPCnya.
Oke, oke, coba kutebak. Kalian sempat langsung berurusan dengan DPC untuk membicarakan urusan konsumsi tersebut?
Benar, karena ketidaktahuan tadi, maka dalam suatu rapat dengan panitia, diundanglah orang DPC tanpa sepengetahuan DPD.
Jadi itu yang bikin masalah?
Bukan masalah besar sih, hanya jadi koreksi saja pada kami, kalo sudah memercayakan pada DPD yha segala urusan harus dengan mereka supaya secara struktural jelas. Maklum, ngurusi makan begitu banyak orang selama 4 hari dengan budget puluhan juta itu khan bukan perkara mudah. Maka kejelasan sistem itu yang memang perlu ditaati.
Ada lagi?
Ada, ini tentang bagaimana menyiapkan sistem penyediaan makan bagi peserta; tapi ini di awal-awal proses Lai. Penuh lika-liku juga.
Maksudmu gimana itu?
Konteksnya gini. Ketika awal membentuk kepanitiaan kami khan belum tahu akan dapat dana berapa untuk kegiatan KYD ini. Dana ini sangat berpengaruh terhadap sistem permakanan peserta. Misalnya pernah terpikir penyediaan makan itu semua menggunakan jasa katering sehingga panitia tidak perlu repot menyiapkan ini itu, semuanya sudah ditanggung katering tersebut.
Mahal dong, Nas.
Ya karena mahal itulah maka kita nggak memilih sistem itu. Terus yang lainnya, misalnya gimana kalo kita bikin dapur umum seperti yang di Tegal Arum itu lho. Tapi akhirnya nggak jadi karena akan sangat repot juga menyiapkan sumber daya manusia di kota untuk mengelola hal itu, termasuk juga nanti mau pinjam sama siapa segala peralatan masaknya. Sampai akhirnya kita putuskan untuk bekerjasama dengan WKRI untuk menyiapkan konsumsi. Apakah mereka mau masak sendiri atau gimana, terserah mereka lah.
Khan yang terjadi akhirnya gitu, trus dimana masalahnya?
Kamu kok selalu cari masalah gitu sih, Lai.
Nggak, katamu ada yang perlu dievaluasi, jadi dimana problemnya. Nah aku nggak tanya masalah lagi, sekarang.
Samo bae. Gini, dulu khan kita menerima sumbangan natura atau bahan mentah untuk disetor ke dapur umum. Nah, awalnya ibu-ibu WK itu tahunya ada dana sekian, berupa uang tunai lho, untuk dibelanjakan jadi makanan dan minuman bagi sekian peserta selama 4 hari, titik. Nah, problem utamanya khan pada saat itu kita nggak tahu bisa dapat dana berapa untuk KYD, yha kalo target terpenuhi, kalo nggak, gimana?
Terus.
Akhirnya kita memutuskan menerima sumbangan natura tadi. Lha, lika-likunya ada pada meyakinkan WKRI untuk menerima bahan mentah, sampai pada pendistribusiannya.
Mereka menolak menerima bahan mentah, maunya uang saja, begitu.
Nggak sampai segitu, Lai. WKRI mengerti kok, ini kegiatan rohani yang dananya belum jelas, dan konsekuensi logisnya adalah menerima bahan mentah untuk mengurangi anggaran pembelian material konsumsi. Mereka juga bagian dari keluarga gereja yang memang harus mendukung suksesnya acara KYD ini.
Hanya.... hayooo hanyanya apa
He he he... tahu saja kamu. Hanya, tenggat waktu penyerahan bantuan natura itu lho, Lai. Di satu sisi, WKRI ingin kepastian, kapan paling lambat natura bisa diterima sehingga kalo ada kurang, bisa belanja dengan dana tunai yang sudah disediakan panitia. Di sisi lain, namanya kita menerima sumbangan, tentu kalo ada yang ngasih setelah batas waktunya, apa yha mau ditolak. Karena ada juga lho yang sehari atau dua hari sebelum pelaksanaan umat yang masih saja menyumbang.
Tapi asyik juga yach jadinya.
Ya kita nikmati saja Lai. Kalo dibawa tegang yha percuma, bikin cepet semaput saja nanti. Walau badan capek ngurus ini itu, ngangkut beras, air minum dan sebagainya, tapi itulah asyiknya bekerja untuk Tuhan.
Wah, mulia sekali kiprah kalian Nas.
Sudahlah, ada lagi nggak nih tentang konsumsi yang mau kautanyakan, lai?
Cukup Nas. Kini yang perlu kutanyakan adalah tentang urusan mandi-memandi. Kalian kahn menginap di kelas-kelas sekolahan, lantas gimana kalian memandikan seribu orang tersebut?


Ya tentu saja kita pakai ruang mandi yang ada di tiap sekolah/gedung. Selain itu kami bikin lebih dari 20 kamar mandi darurat. Selain itu kami juga mendapat pinjaman toilet portabel dari pemerintah.
Dan itu cukup?
Sesuai teori sih cukup, Lai, hanya itulah, urusan air yang kadang tersendat. Tempat mandi ada, tapi air di kamar mandi kadang sudah habis. Kita sih sudah antisipasi dengan membeli air bersih menggunakan truk-truk tangki. Hanya itulah, lebih ke soal teknis gimana mengalirkan air dalam volume banyak dalam tempo tertentu. Jadi agak wagu sih, Lai. Sementara air di ground tank atau bak penampungan masih ada, tapi mesti nunggu untuk mengalirkan air ke penampungan di lantai tiga, dan mesti lebih lama lagi nunggu air mengalir masuk ke tiap bak kamar mandi di bawahnya. Maklum, di sana khan dirancang bukan untuk mandi, namanya juga sekolah.

Kamar mandi darurat
 
Walau darurat, yang penting, air lancar menyemprot, proooottt.....
Hmmm... yang penting kalian sudah pikirkan solusinya saja.
Bukan hanya dipikir, Lai, sudah kami eksekusi malahan. Hanya itulah, ternyata urusan mandi bisa menghambat beberapa acara.
Wah, gimana ceritanya itu?
Ini adalah hasil kami saat evaluasi setelah kegiatan bersama para panitia. Jadi, gara-gara peserta pada susah untuk mandi. Tahu khan, bukan kamar mandinya kurang, tapi karena airnya habis. Maka urusan mandi bisa menjadi rebutan, akibatnya, ada yang pukul 3 dini hari sudah mau mandi, mestinya khan masih beristirahat. Ada juga yang saatnya makan malah lebih mementingkan mandi lebih dahulu, sehingga makannya telat. Ada pula yang lebih parah ketika acara mulai, eee ada yang malah mandi. Memang itu sebagian kecil dari peserta, tapi khan ngganggu proses juga, selain mereka yang pada mandi itu tidak bisa sepenuhnya berkegiatan.
Wah antik juga acara kalian itu yach. Padahal kalo dari ceritamu itu lebih karena problem mengalirkan air yang sebenarnya sudah tersedia, ke bak-bak kamar mandi.
Begitulah, Lai. Kalo yang di kamar mandi darurat sih malah lancar 24 jam. Justru yang di sekolahan itu yang sering kosong. Ini memang jadi pelajaran berharga bagi kami, Lai.
Eee apalagi yha tentang hal-hal teknis. Kayaknya cukup deh, Nas. Kalo tentang listrik, sampah, keamanan, kesehatan, juga parkir, tentu sudah kalian siapkan. Kalo masih kacau, berarti kalian nggak belajar dari pengalaman TAKM sebelum-sebelumnya.
--------- hampir selesai, tapi masih bersambung, lho ----------
ke Edisi Pamungkas KYD 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar